Ambon, bimasislam --- Pernikahan anak masih terjadi di
Indonesia. Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Mohsen mengatakan
bahwa untuk menekan praktik pernikahan dini ini, diperlukan upaya yang
masif dan harus melibatkan banyak pihak.
"Untuk mencegah pernikahan dini, tidak cukup hanya mengharapkan Kementerian Agama saja," tandas Mohsen di hadapan para Kepala KUA dan penghulu se Provinsi Maluku, Selasa (08/05) di Ambon.
Menurut Mohsen, pelibatan instansi lain di antaranya untuk ikut melakukan upaya penyadaran kepada masyarakat secara masif, baik dari sisi kesehatan, tumbuh kembang anak, dan masa depan anak.
"Upaya penyadaran tersebut dilakukan dengan banyak media, termasuk sosial media," ujarnya.
Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah berencana membuat video pendek agar pesan stop perkawinan anak bisa cepat sampai kepada masyarakat. Selain itu, kampanye stop perkawinan juga akan dilakukan secara langsung kepada siswa siswi SLTP dan SLTA serta para orang tua melalui beberapa kegiatan.
Para remaja, tuturnya, harus dididik agar mereka lebih mengutamakan pendidikan dan masa depan mereka. "Jadi butuh pelibatan banyak pihak, baik para guru di sekolah maupun para penyuluh, baik agama maupun kesehatan," tandas Mohsen.
Terkait regulasi yang ada, menurut mantan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren ini, sudah cukup melindungi anak dari praktik perkawinan, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebab dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa usia menikah adalah 21 tahun.
"Hanya saja perlu jalan keluar jika hal-hal yang bersifat darurat terjadi," ungkapnya.
Viral di media sosial baru-baru ini, seorang anak berusia 12 tahun yang baru selesai melaksanakan ujian nasional SD di Kabupaten Sinjai akan menikah. Sebelumnya, pemberitaan yang sama juga berkembang menyusul rencana pernikahan dini di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
"Untuk mencegah pernikahan dini, tidak cukup hanya mengharapkan Kementerian Agama saja," tandas Mohsen di hadapan para Kepala KUA dan penghulu se Provinsi Maluku, Selasa (08/05) di Ambon.
Menurut Mohsen, pelibatan instansi lain di antaranya untuk ikut melakukan upaya penyadaran kepada masyarakat secara masif, baik dari sisi kesehatan, tumbuh kembang anak, dan masa depan anak.
"Upaya penyadaran tersebut dilakukan dengan banyak media, termasuk sosial media," ujarnya.
Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah berencana membuat video pendek agar pesan stop perkawinan anak bisa cepat sampai kepada masyarakat. Selain itu, kampanye stop perkawinan juga akan dilakukan secara langsung kepada siswa siswi SLTP dan SLTA serta para orang tua melalui beberapa kegiatan.
Para remaja, tuturnya, harus dididik agar mereka lebih mengutamakan pendidikan dan masa depan mereka. "Jadi butuh pelibatan banyak pihak, baik para guru di sekolah maupun para penyuluh, baik agama maupun kesehatan," tandas Mohsen.
Terkait regulasi yang ada, menurut mantan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren ini, sudah cukup melindungi anak dari praktik perkawinan, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebab dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa usia menikah adalah 21 tahun.
"Hanya saja perlu jalan keluar jika hal-hal yang bersifat darurat terjadi," ungkapnya.
Viral di media sosial baru-baru ini, seorang anak berusia 12 tahun yang baru selesai melaksanakan ujian nasional SD di Kabupaten Sinjai akan menikah. Sebelumnya, pemberitaan yang sama juga berkembang menyusul rencana pernikahan dini di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar